TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGATURAN INTERNASIONAL E-COMMERCE DIHUBUNGKAN DENGAN
HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan
teknologi elektronik yang berlangsung pesat hingga saat ini telah
mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan dan kegiatan di masyarakat
luas, dalam berbagai sisi kehidupan dan termasuk juga di bidang hukum.
Munculnya
penemuan internet dan kemudian berkembang pada praktek perdagangan
dengan ruang lingkup yang baru yakni tanpa batasan (borderless) melalui
media elektronik (e-commerce) secara umum telah menimbulkan dampak
ekonomi dan hukum yang sangat luas.
Hukum nasional dan
internasional, baik publik maupun privat akan mendapat pengaruh cukup
besar dari perkembangan baru dibidang teknologi tersebut. Berbagai upaya
pun tengah dilakukan oleh organisasi-organisasi internasional seperti
PBB melalui UNCITRAL dan UNCAD, WTO dan juga perhimpunan-perhimpunan
regional negara-negara seperti ASEAN untuk membuat aturan-aturan /
perangkat hukum yang setidaknya dapat dijadikan acuan oleh
pemerintah-pemerintah negara-negara yang berkepentingan.
Hingga saat
ini juga dapat dilihat pemerintah Indonesia mulai terus berusaha
mengikuti perkembangan praktik e-commerce untuk menghindari dampak yang
dapat merugikan para pelaku bisnis serta masyarakat pada umumnya, hal
ini dapat di lihat dengan adanya beberapa rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan e-commerce, telematika, dan sebagainya. Secara empiris
e-commerce telah menjadi salah satu transaksi bisnis yang biasa
dilakukan melalui internet.
Dari perspektif hukum, perkembangan
e-commerce ini telah menimbulkan berbagai permasalah dan ketidakpastian
yang memerlukan penanganan segera. Hal ini dapat dilihat khususnya
berkaitan erat dengan hal kontrak yang termuat didalamnya. Di Indonesia
perihal kontrak dan sisi yuridis materil maupun formil berkaitan dengan
hal tersebut telah diatur dengan jelas dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, akan tetapi teknologi yang mendukung terciptanya
e-commerce tidak mengenal atau menghiraukan batas-batas wilayah negara
sehingga hukum yang pergunakan pun menjadi berada dalam suatu wacana
yang komprehensif, artinya tidak hanya dari sisi hukum nasional tetapi
juga hukum internasional.
Dari sisi hukum nasional, permasalahan
sehubungan dengan kontrak internasional dalam e-commerce adalah
perumusan aturan-aturan hukum perjanjian yang mencakup e-commerce
contract, selain itu juga berkaitan dengan legatimasi / keabsahan suatu
konrak / perjanjian dalam e-commerce yang secara langsung menciptakan
hubungan bisnis yang dapat diimplementasikan. Kemudian juga berkaitan
dengan penyelesaian sengketa jika timbul perselisihan, masalah
perpajakan, perlindungan konsumen, HAKI, dan sebagainya.
Di sisi lain
pada tataran internasional, berkaitan dengan permasalahan aturan-aturan
/ perangkat hukum di bidang yang terkait dengan persoalan pembentukan
kebijakan negara khususnya dibidang ekonomi dan perdagangan yang masih
seringkali kebijakan-kebijakan yang dibuat negara menimbulakn
hambatan-hambatan baru terhadap sistem perdagangan dunia.
Berdasarkan
hal tersebut, maka penulis pada kesempatan ini akan mencoba membahas
dan menuangkannya dalam karya tulis ini dengan judul “TINJAUAN HUKUM
TERHADAP PENGATURAN INTERNASIONAL E-COMMERCE DIHUBUNGKAN DENGAN HUKUM
KONTRAK INTERNASIONAL”
BAB II
KONTRAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL
Di
Indonesia, hukum kontrak telah memiliki kedudukan tersendiri, hal ini
dapat dilihat dalam Buku III KUH Perdata, yang terdiri atas 18 bab dan
631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1864
KUH Perdata.
Sekalipun KUH Perdata yang masih di anut oleh Indonesia
berasal dari Belanda dengan nama awal Burgerjlik Wetboek (disingkat
B.W), akan tetapi saat ini negara Belanda sendiri sudah tidak memakai
B.W tersebut dan telah merubahnya (revisi) menjadi NBW yang juga tetap
mengatur mengenai hukum kontrak, tempat pengaturan hukum kontrak dalam
buku IV tentang van verbintenissen, dimulai dari Pasal 1269 NBW sampai
dengan Pasal 1901 NBW.
Kontrak yang dalam bahasa Inggris disebut
contracts atau overeenkomst dalam bahasa Belandanya sering juga
diterjemahkan menjadi perjanjian.
Definisi perjanjian atau kontrak di
atur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi “Perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih.”
Berikut ini adalah pendapat
para ahli hukum” “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada seorang
berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal”.
“Suatu perjanjian adalah suatu hubungan
hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak
pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan
pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi”.
Sistem pengaturan hukum
kontrak di Indonesia adalah sistem terbuka (open system), yang artinya
bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk mengadakan perjanjian, baik
yang sudah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan maupun yang
belum di atur di dalam undang-undang. Hal ini dapat dilihat dan kemudian
disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata membuat terciptanya kebebasan kepada para pihak untuk :
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian,
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Analisis
dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata ini telah membuat di
kenalnya asas penting dalam hukum perdata yakni asas kebebasan
berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak (beginsel der
contractsvrijheid) disimpulkan dengan jalan menekankan pada perkataan
“semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”.
Dikatakan bahwa
Pasal 1338 ayat (1) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan
(proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan
itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang.
Kebebasan
berkontrak tersebut kemudian selalu di hubungkan (junto) dengan Pasal
1320 KUH Perdata mengenai sahnya suatu kontrak / perjanjian. Hal ini
dikarenakan melihat dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) yang mensyaratkan
agar kontrak / perjanjian apapun juga yang dibuat selalu “dibuat secara
sah”
Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, ditentukan empat syarat sahnya perjanjian, yakni :
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak,
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,
3. Adanya objek, dan
4. Adanya kausa yang halal.
Dalam penjabarannya empat syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.
Kesepakatan kedua belah pihak, yang diatur dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata yang artinya pernyatan kehendak antara satu orang atau lebih
dengan pihak lainnya.
2. Kecakapan bertindak, yaitu kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum, salah satu ukurannya adalah seseorang yang
telah berumur 18 tahun dan atau sudah kawin. Adapaun orang yang tidak
cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:
- Anak dibawah umur
- Orang yang berada dibawah pengampuan
-
Istri (Pasal 1330 KUHPerdata) walaupun dalam perkembangannya dapat
melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 UU Nomor 1974 jo SEMA No 3 Tahun
1963)
3. Objek perjanjian, yaitu prestasi.
Prestasi dapat terdiri atas :
- Memberikan sesuatu
- Berbuat sesuatu
- Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata)
4.
Causa yang halal, dalam KUHPerdata tidak dijelaskan pengertian causa
yang halal, namun hanya menyebutkan causa yang terlarang. Sejak tahun
1927 dalam Hoge Raad dijelaskan bahwa yang termasuk dalam causa yang
terlarang adalah perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum, dapat diartikan causa yang halal
menurut Hoge Raad ini merupakan sesuatu yang menjadi tujuan para pihak.
BAB III
ELECTRONIC COMMERCE DALAM PENGATURAN INTERNASIONAL
Electronic
commerce (disingkat e-commerce) adalah kegiatan-kegiatan bisnis yang
menyangkut konsumen (consumers), manufaktur (manufactures), services
providers dan pedagang perantara (intermediateries) dengan menggunakan
jaringan-jaringan komputer (computers network) yaitu internet.
Berbicara
mengenai perdagangan di dunia maya (e-commerece) tidak pernah dapat
dipisahkan dengan perjanjian / kontrak maya berskala internasional
(e-contract), hal ini dikarenakan setiap perdagangan dan hubungan bisnis
antara para pelaku bisnis di dunia maya, selalu memiliki kontrak atau
dituangkan dalam suatu kontrak maya (e-contract), atau setidaknya ada
terms and conditions yang telah dibuat salah satu pihak (klausula baku)
dalam menjalankan usaha / bisnis di dunia maya tersebut.
Kontrak
maya (e-contract) dalam dunia usaha internasional yang menggunakan
fasilitas internet sebagai jembatan usahanya, di kategorikan sebagai
kontrak internasional.
Hal ini dikarenakan di dalam kontrak tersebut adanya unsur asing.
Dengan
begitu lahirlah hingga saat ini keberadaan kontrak (perjanjian) yang
berskala internasional, yang adalah “suatu kontrak yang didalamnya ada
atau terdapat unsur asing (foreign element).”
Hal ini juga di
perkuat oleh pendapat yang mengatakan bahwa “are contract with two
nations or more nation states. Such contracts may be between states,
between state and a private party, or exclusive between private
parties.”
Istilah kontrak internasional tersebut haruslah di bedakan
dengan istilah perjanjian internasional, yakni bahwa “kontrak
internasional dalam bidang komersil atau perniagaan … perjanjian
internasional dalam bidang publik bukan bersifat komersial atau
perniagaan.”
Penulis berpendapat dengan demikian jika berbicara
mengenai perjanjian dalam bidang komersial dan perniagaan (perdagangan)
maka lebih tepat menggunakan istilah kontrak internasional, sebab
istilah perjanjian internasional dapat mencakup bidang yang lain, bidang
kenegaraan (perjanjian bilateral antar negara, dan sebagainya), dan
bidang publik.
Keberadaan kontrak internasional ini pun kemudian
mengalami perkembangan sehubungan dengan adanya bentuk perdagangan baru
yang di sebut electronic commerce (e-commerce), yang merupakan penemuan
baru dalam bentuk perdagangan yang dinilai lebih dari perdagangan pada
umumnya (konvensional).
Perkembangan e-commerce membawa banyak
dampak perubahan secara umum pada sektor aktivitas bisnis yang selama
ini biasa di jalankan di dunia nyata, dan secara khusus mengakibatkan
juga perubahan di bidang kontrak internasional.
E-commerce tersebut
merupakan transaksi perdagangan yang melibatkan individu-individu dan
organisasi-organisasi atau badan, berdasarkan pada proses dan transmisi
data digital, termasuk teks, suara atau jaringan tertutup seperti
American On Line (AOL) yang mempunyai jaringan terbuka dan di kenal
hingga saat ini.
Implikasi dari pengembangan perdagangan dan
kontrak (internasional) tersebut tentunya ada yang di rasa positif dan
menguntungkan, tetapi ada juga yang di rasa negatif, yakni :
Aspek
positifnya adalah terciptanya kecepatan dan kemudahan serta kecanggihan
dalam melakukan transaksi dan iteraksi global tanpa batasan waktu dan
tempat, kemudian telah berhasil meningkatkan peranan dan fungsi
perdagangan sekaligus memberikan kemudahan dan efisiensi yang lebih.
Tetapi dari aspek negatifnya, masih di permasalahkan berkaitan dengan
persoalan keamanan dalam bertransaksi dan secara yuridis terkait juga
dengan jaminan kepastian hukumnya.
Keberadaan suatu kontrak
internasional dalam perdagangan mayaranta (e-commerce) baru dapat di
katakan sah menurut hukum Indonesia, saat di anggap telah memenuhi
syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1329 KUHPerdata) yakni kesepakatan
yang telah tercapai saat konsumen meng-klik suatu ilustrasi “setuju”,
pengisian data diri sehingga diketahui kecakapannya, objek yang
ditawarkan tertentu, perjanjian dapat di baca sehingga dapat di ketahui
isi suatu sebab yang halal.
E-commerce sebagai lahan pebisnis dan
para pelaku usaha telah menjadi trend yang sangat menarik perhatian
publik. Penggunaan peralatan elektronika khususnya internet untuk
melaksanakan atau membuat suatu transaksi (contract) komersial telah
dirancang sedemikian rupa sehingga seringkali didalamnya terdapat suatu
kontrak atau perjanjian yang dalam perspektif hukum masih terus menerus
terjadi benturan atau perbedaan sistem hukum yang berlaku.
Ruang lingkup e-commerce atau segmentasinya setidaknya dapat meliputi tiga sisi, yakni:
1.
Bisnis ke bisnis (bussiness to bussiness), yakni sistem komunikasi
antara pelaku bisnis atau dengan kata lain transaksi secara elektronik
antar perusahaan yang dilakukan secara rutin dan dalam kapasitas atau
volume produk yang besar.
2. Bisnis ke konsumen (bussiness to
customer), merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang
dilakukan pelaku usaha dan pihak konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan
tertentu dan pada saat tertentu.
3. Konsumen ke konsumen (customer
to customer), merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang
dilakukan antar konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan
pada saat tertentu pula, sifatnya lebih khusus karena transaksi
dilakukan oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan transaksi.
Dapat
dilihat, e-commerce yang selalu memuat didalmnya kontrak daganng
(e-contract) bersifat global, sehingga penanganannya juga harus
dilakukan dalam ruang lingkup internasional juga.
Beberapa usaha di
bidang e-commerce hingga saat ini terus berlangsung di berbagai
oganisasi internasional seperti, UNCTAD, UNCITRAL, OECD, WTO, dan
sebagainya.
Secara lebih khusus, perkembangan hukum konrak
internasional dalam bidang e-commerce yang terbaru adalah dengan adanya
United Nations Convention On The Use Of Electronic Communication In
International Contracts 2005.
1. UNITED NATION CONVERENCE ON TRADE AND DEVELOPMENT (UNCTAD)
Ini
merupakan badan PBB yang bertugas membantu negara-negara berkembang,
UNCTAD telah mendirikan jaringan bernama global trade point network
dengan tujuan untuk membantu negara-negara berkembang dalam usaha mereka
untuk mendapatkan manfaat dari perkembangan-perkembangan di bidang
komunikasi elektronik. UNCTAD hingga saat ini merupakan salah satu
sarana perdagangan internasional yang telah meningkatkan jasa mereka dan
memfasilitasi jumlah transaksi kontrak / perjanjian perdagangan yang
sangat luas. Bahkan hingga saat ini UNCTAD terus bergerak dari suatu
jaringan pra-transaksional kearah suatu jaringan yang sepenuhnya
tansaksional (contracts to contracts).
2. ORGANIZATION FOR ECONOMIC COOPERATION AND DEVELOPMENT (OECD)
OECD
yang berdiri sejak tahun 1996 memfokuskan persoalan pada dua aspek
yaitu : bussiness to bussiness dan rekomendasi strategis yang ditujukan
kepada pemerinta dengan maksud untuk memfasilitasi perkembangan
e-commerce dan memaksimalkan kontribusi kearah penciptaan bisnis dan
pekerjaan-pekerjaan baru. OECD membuat studi yang dimaksudkan untuk
meninjau peraturan-peraturan serta praktek yang ada di negara-negara
anggota mengenai internet serta menghimpun pandangan-pandangan dari
berbagai pelaku bisnis yang terlibat didalamnya.
Di bidang
e-commerce OECD juga berusaha menciptakan suatu sistem pembayaran dan
perbankan yang pararel diluar saluran-saluran perbankan konvensional.
Hal ini tentunya masih terus diperjuangkan mengingat keberadaan OECD
lebih kearah penciptaan bisnis dan pekerjaan-pekerjaan baru.
3. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)
Dalam
hubungannya dengan e-commerce dan khususnya e-contract, WTO terus
mencoba membantu negara-negara anggotanya membuat kebijakan baru sebagai
respon terhadap perkembangan bisnis yang dipicu oleh pesatnya teknologi
dewasa ini, transaksi komersial melalui internet dan e-contract telah
menimbulkan dampak yang sangat besar di segala bidang termasuk di bidang
hukum. E-commerce yang didalamnya juga secara tidak langsung terdapat
atau adanya e-contract telah menciptakan sejumlah tantangan (keharusan)
terhadap pemerintah berkaitan dengan keamanan dan privasi dari
transaksi, perpajakan, perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa dan
kepastian hukum para pelaku yang terlibat dalam e-commerce. WTO dapat
membantu memfasilitasi e-commerce dan mengintegrasikannya kedalam
peraturan-peraturan perdagangannya.
4. UNITED NATION COMMISSION ON INTERNASIONAL TRADE LAW (UNCITRAL)
Sebagai
tindak lanjut dari mandat untuk menciptakan harmonisasi dan unifikasi
hukum perdagangan internasional yang dapat menghilangkan
hambatan-hambatan terhadap perdagangan internasional sebagai akibat dari
tidak memadai dan beragamnya aturan-aturan dibidang perdagangan, maka
sejak tahun 1996 UNCIRAL Model Law On Electronic Commerce telah di
terima olah UNCITRAL.
Model law ini dipersiapkan sebagai respon
terhadap perubahan besar yang terjadi dalam cara komunikasi diantara
pihak-pihak dengan menggunakan komputer dan teknik-teknik modern lainnya
dalam menjalankan bisnis.
Sekalipun begitu, model law ini
dimaksudkan hanya untuk mengarahkan prosedur dan memberikan
prinsip-prinsip guna memfasilitasi teknik-teknik modern dalam merekam,
dan mengkomunikasikan informasi, namun instrumen ini hanya sekedar
framework law, artinya tidak menuangkan peraturan-peraturan lengkap yang
mungkin dibutuhkan negara untuk mengimplementasikan teknik-teknik
tersebut, sehingga juga tidak meliput keseluruhan aspek e-commerce.
5. UNITED NATIONS CONVENTION ON THE USE OF ELECTRONIC COMMUNICATION IN INTERNATIONAL CONTRACTS 2005
UNCITRAL
telah mengeluarkan suatu instrumen penting dalam bidang hukum kontrak
internasional yang secara khususnya menggunakan sarana elektronik
(e-contract) dalam sebuah konvensi yang bernama “The Convention On The
Use Of Electronic Communication In International Contracting.”
Konvensi
ini di buka untuk negara-negara yang hendak ikut terlibat dan
menandatanganinya serta terikat di dalamnya sejak tangal 16 Januari 2006
hingga 16 Januari 2008. Konvensi ini terdiri dari 4 bab dan 25 pasal.
Tujuan
di adakannya pembentukan konvensi ini adalah pengadopsian penyeragaman
peraturan yang sama untuk menghilangkan rintangan dalam kontrak
internasional dan komunikasi elektronik, termasuk rintangan yang biasa
ada dalam instrumen hukum perdagangan.
Pada prinsipnya, sesuai dengan
ketentuan di dalam Pasal 3 Konvensi, di nyatakan bahwa para pihak
mendapat kebebasan untuk tidak menggunakan aturan substansi konvensi,
sehingga masih ada yang di kenal dengan kebebasan para pihak untuk
membuat peraturan berbeda dengan peraturan nasionalnya.
Mengenai
status hukumnya, berhubungan dengan komunikasi elektronik, dalam Pasal 8
Konvensi di nyatakan bahwa suatu komunikasi atau suatu kontrak tidak
boleh di sangkal keabsahan dan kekuatan hukumnya dengan alasan
semata-mata komunikasi dan kontrak tersebut di buat secara elektronik.
BAB IV
E-COMMERCE DARI SEGI HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL
Seperti
telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, salah satu unsur
terpenting bagi terciptanya suatu kontrak adalah adanya kesepakatan
(salah satu syarat berdasar Pasal 1320 KUH Perdata) diantara para pihak
yang mengadakan perjanjian atau kontrak.
Dengan demikian juga
suatu perjanjian / kontrak dapat berwujud tertulis ataupun tidak
tertulis. Sedangkan melihat dari istilah “perikatan” maka menurut
penulis, yang lebih ditekankan adalah mengenai adanya hak dan kewajiban
yang lahir dari adanya pembuatan suatu perjanjian / kontrak tersebut.
Sedangkan istilah perjanjian / kontrak lebih mengacu pada faktanya,
yakni apakah tertulis atau tidak tertulis.
Dari hal tersebut, maka
dari sisi hukum yang terpenting adalah kapan terciptanya suatu perikatan
tersebut? Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka
salah satu unsur perikatan adalah adanya kesepakatan. Jika kesepakatan
para pihak tersebut dituangkan secara tertulis, maka ada suatu kontrak /
perjanjian yang tertulis pula. Sebaliknya jika kesepakatan para pihak
dinyatakan secara lisan, maka yang ada hanyalah suatu kontrak lisan
saja. Akan tetapi baik kontrak secara tertulis maupun kontrak lisan,
dapat melahirkan perikatan, yang artinya jika salah satu pihak tidak
melaksanakannya pihak yang lain dapat menuntut pemenuhannya.
Ciri
yang membedakan kontrak dalam e-commerce dari kontrak-kontrak yang lain
pada umumnya ialah bahwa kesepakatan tidak diberikan dalam bentuk
tertulis maupun lisan, melainkan komunikasi dengan media / sarana
elektronik (internet). Inilah yang seringkali menjadi salah satu
permasalahan jika di tinjau dalam perspektif hukum.
Hingga saat
ini di negara Indonesia khususnya belum ada pengaturan tentang
e-commerce maupun e-contract atau lebih khusus lagi mengenai hal
kesepakatan dalam kaitannya dengan kontrak melalui media elektronik
(internet). Secara ideal tentunya memang diperlukan pengaturan hukum
bagi hal itu. Akan tetapi hal ini tentunya tidak menutup kemungkina
bahwa selama pengaturan hukum itu belum ada, kesepakatan dan pembuatan
suatu kontrak bisnis di dunia maya tetap dimungkinkan dilaksanakan.
Sebenarnya telah banyak contoh-contoh kegiatan dagang dunia maya, hanya
saja saat ini teknologi menjadi lebih canggih sehingga seringkali ekspor
impor tidak dapat terlaksana tanpa bantuan lembaga letter of credit dan
bill of ladding.
Adanya Uncitral Model Law On Electronic
Commerce 1996 dan yag terbaru adalah dengan adanya United Nations
Convention On The Use Of Electronic Communication In International
Contracts 2005, merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh PBB untuk
mempercepat tercapainya harmonisasi dan mungkin unifikasi antar hukum di
antara negara-negara anggota yang mengatur mengenai e-commerce, atau
setidaknya dapat memberikan “guidance” dalam penyusunan / pembentukan
aturan hukum mengenai e-commerce tersebut.
Secara lebih sederhana
lagi adalah agar pihak-pihak yang merencanakan akan mengadakan kegiatan
bisnis melalui media elektronik dapat mengikatkan dirinya secara
kontraktual terlebih dahulu, yakni dengan terlebih dahulu mensepakati
persyaratan-persyaratan tertentu melalui media elektronik (internet)
yang akan mengikatkan mereka sebagai kesepakatan yang disyaratkan oleh
Pasal 1320 KUH Perdata.
Selain itu juga perkembangan e-commercce
telah didukung adanya banyak program keamanan seperti firewall,
antivirus terhadap spamming maupun virus.
Kemudian dalam
pembuktiannya (hukum acara perdata) telah adanya tanda tangan digital
(digital signature) yang memungkinkan sebuah dokumen elektronik
ditandatangani secara elektronik pula.
Demi terciptanya suatu
kontrak yang baik, dalam arti kontrak itu dapat menjadi suatu kontrak
yang efektif dan efisien, maka menurut penulis sebuah kontrak
(e-contract) dalam e-commerce haruslah dibuat dengan memperhatikan
beberapa hal penting, antara lain :
1. Pengecekan terhadap para pihak yang hendak melangsungkan perikatan.
2. Memastikan bahwa kontrak yang dibuat telah memiliki choise of forum dan choise of law yang jelas.
3. Kepastian sistem pembayaran dan cara pembayaran yang dianggap paling aman bagi para pihak.
Saat
ketiga hal ini dilakukan, maka setidaknya akan dapat meminimalisasi
sengketa atau ketidakpastian hukum dalam e-commerce, selain itu juga
ketiga hal itu termasuk langkah-langkah yang juga diatur dalam Uncitral
Model Law On Electronic Commerce 1996 dan yang terbaru adalah dengan
adanya United Nations Convention On The Use Of Electronic Communication
In International Contracts 2005, dengan demikian perlindungan terhadap
para pihak terjaga dan disisi lain peningkatan perdagangan di dunia maya
dapat semakin meningkat yang tentunya menciptakan juga peningkatan bagi
pemerintah baik secara ekonomi makro ataupun mikro
BAB V
SIMPULAN
Berbicara
mengenai perdagangan di dunai maya (e-commerce) tidak pernah dapat
dipisahkan dengan perjanjian / kontrak maya berskala internasional
(e-contract), hal ini dikarenakan setiap perdagangan dan hubungan bisnis
antara para pelaku bisnis di dunia maya, selalu memiliki kontrak atau
dituangkan dalam suatu kontrak maya (e-contract), atau setidaknya ada
terms and conditions yang telah dibuat salah satu pihak (klausula baku)
dalam menjalankan usaha / bisnis di dunia maya tersebut.
Praktik
e-commerce telah dan akan menimbulkan konsekuensi serius terhadap
banyak bidang, termasuk di bidang hukum baik nasional maupun
internasional, publik maupun privat. Usaha-usaha yang dilakukan berbagai
organisasi internasional untuk membuat pengaturan mengenai e-commerce
adalah dalam rangka menertibkan dan mensinkronisasikan pengaturan hukum
nasional dengan pengaturan internasional.
Dalam hukum
internasional telah ada beberapa pengaturan mengenai hal ini, seperti
contohnya adanya UNCITRAL Model Law On Electronic Commerce 1996 dan
United Nations Convention On The Use Of Electronic Communication In
International Contracts 2005. Kemudian melihat pada hukum nasional masih
berupa rancangan undang-undang seperti RUU Telematika dan RUU tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
Semakin meluasnya pengenalan akan
internet terhadap masyarakat di Indonesia, dengan sendirinya akan
menciptakan kegiatan e-commerce semakin meningkat, didukung perundangan
yang diharapkan segera di sahkan setidaknya dapat menjadi payung hukum
demi terciptanya kepastian hukum dan peningkatan ekonomi makro dan mikro
bangsa Indonesia yang lahir dari peningkatan perdagangan di dunia maya
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim
Barkatullah & Teguh Prasetyo, Bisnis E-Comerce (Studi Sistem
Keamanan Dan Hukum Di Indonesia), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Hata,
Beberapa Aspek Pengaturan Internasional E-Commerce Serta Dampaknya Bagi
Hukum Nasional, Dalam Varia Peradilan, Volume VII, Maret, 2002
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2007
M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perikatan, Bandung: PT.Alumni, 1982
R.Subekti, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995
Salim H.S, Hukum Kontrak (Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2003